Suatu hari, di akhir tahun 70-an seorang ibu menggandeng anak
gadisnya melangkah masuk ke dalam sebuah bioskop paling elite di kota
Medan. Tepat di sebelah dalam, dua orang penjaga pintu bioskop itu,
menahan mereka masuk karena curiga bahwa sang anak belum berusia 17
tahun, sesuai dengan batas usia film yang sedang diputar di situ.
Terjadilah pertengkaran antara sang ibu yang memaksa ingin masuk, dengan
kedua orang penjaga pintu tersebut. Di akhir pertengkaran, sang ibu
diminta menunjukkan KTP si anak gadis, dan dia gagal melakukannya.
Akhirnya ibu dan anak yang bersekongkol ingin menabrak aturan batas usia
menonton film 17 tahun itu pun pulang sambil marah-marah.
Betapa terharunya kita melihat dua orang penjaga pintu bioskop saat
itu yang sedemikian kental rasa tanggung jawabnya untuk menjaga moral
anak bangsanya. Padahal mereka justru makan gaji dari hasil penjualan
karcis. Sedangkan kedua penjaga pintu bioskop itu bukanlah berpendidikan
tinggi.
Di akhir tahun 60-an, Pemerintah Orde Lama pernah melarang sebuah
lagu yang menceritakan seekor rusa jantan bunuh diri terjun ke jurang,
setelah aksi protes yang dilakukan para ulama seluruh Indonesia.Isi
syair lagu itu dikhawatirkan memicu remaja putus cinta melakukan bunuh
diri. Sebelum itu Pemerintah Orde Lama juga telah memberangus seluruh
lagu yang berbau imperialisme asing, karena khawatir dapat melunturkan
semangat nasionalisme anak bangsanya.
Pada tahun 80-an, menteri Penerangan Orde Baru, H. Harmoko, pernah
menarik dari peredaran sebuah lagu yang syairnya bercerita tentang
seorang istri yang kerap ditampar oleh suaminya. Padahal lagu tersebut
menempati tangga pertama lagu terpopuler di tanah air. Di akhir masa
jabatannya, beliau juga pernah menarik dari peredaran sebuah lagu paling
populer lainnya, yang isi syairnya mengajak orang untuk untuk melakukan
kawin-kawinan alias tidak nikah secara tidak sah.
Di mata mereka yang mendewa-dewakan hak asasi secara tanpa batas,
semua tindakan di atas dianggap sebagai pelanggaran HAM. Di sisi lain,
tidakkah terpandang sebuah niat tulus manusia-manusia di zaman itu yang
masih memiliki rasa tanggung jawab untuk menjaga moral anak bangsanya.
Terbukti saat itu mereka yang resah atas kerusakan moral merata dari
mulai atas, pihak pemerintahan resmi Negara, sampai penjaga pintu
bioskop sekalipun.
Keadaan sekarang ternyata bertolak belakang. Merebaknya kasus
pornografi dengan segala akibatnya di tanah air yang penduduknya mengaku
umat beragama ini, hampir tidak mendapat tanggapan yang berarti sama
sekali. Suara-suara yang ingin melindungi moral anak bangsa nyaris tidak
terdengar. Tayangan tv dan media massa lain yang cenderung menampilkan
artis wanita yang hanya melilitkan selembar kain minim ditubuhnya,
sampai bebas beredarnya film-film porno secara meluas di masyarakat,
hampir tidak mendapat rintangan yang berarti pula. Padahal sekarang
undang-undang Pornografi telah disahkan. Namun, undang-undang itu
mandul, karena Peraturan Pemerintah tentang undang-undang Pornografi
sudah beberapa tahun tidak kunjung diterbitkan. Pemerintah dinilai telah
melalaikan tanggung jawab menjaga moral anak bangsa. Atau apakah kita
tidak lagi menganggap pornografi sebagai perusak moral bangsa? Takutnya
kita sekarang justru sudah menjadi bangsa penikmat pornografi sebagai
santapan hidup sehari-hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar